Yogyakarta, 23 Desember 2019
Assalamualaikum Kalimat utama yang saya ucapkan sebelum berjalan lebih jauh ke dalam ruangan. Kalimat apa saja yang hendak diucapkan pengunjung, mereka harus menjaga sopan santun karena sedang bertamu ke dalam sejarah. Mereka yang telah terkubur dalam pahatan nisan, adalah raga yang tertinggal jauh. Ingatan-ingatan dan jiwa-jiwanya terpahat jelas pada relief-relief bangunan ini. Mereka yang tertinggal dalam kenangan juga sudut-sudut ruangan, apa yang sebenarnya menggerakkan sejarah? Apakah itu momentum waktu yang menyatukan kembali setiap masa, suhu, udara, dan partikel-partikel kecil kehidupan? Untuk kamu yang tidak percaya pada perubahan atau untuk siapa saja yang tidak mempercayainya. Tidak ada salahnya jika kita hanya mempercayai bahwa setiap yang sudah terurai akan dihidupkan kembali.
Rasanya seperti mimpi ketika saya dan Damayanti berada di tempat ini. Bahkan tanpa rencana ketika Yogyakarta menjadi tujuan perjalanan berikutnya. Setelah dibuat betah dengan menjelajah kota Blitar, Malang dan Kediri, waktu terlalu cepat melabuhkan kedua kaki kami di Yogyakarta. Awalnya Yogyakarta tidak ada dalam rencana perjalanan karena satu tahun yang lalu saya sudah menjelajahi beberapa tempat di Yogyakarta. Tapi karena kami kehabisan tiket kereta yang diborong orang-orang mudik akhir tahun, akhirnya kami harus singgah di Yogyakarta beberapa malam sebelum akhirnya tiba di Tasikmalaya. Yasudah, nggak apa-apa. Kan bisa menyelam minum air. Ehheheh
Apa yang membuat sudut bagian kanan itu dikerumi orang-orang? Saya kerap penasaran kenapa mereka tidak langsung masuk ke dalam pintu taman. Rupanya mereka sedang membeli tiket dan kami pun melakukan hal serupa. Karena membeli tiketnya tidak bisa diwakilkan, akhirnya saya berhenti memotret dan segera menyusul Damayanti.
Tibanya kami di pintu utama orang-orang lantas pergi. Perasaan takut bergelut dengan lelah setelah beberapa jam menemukan Taman ini. Ini pertama kalinya saya mengunjungi tempat bersejarah tanpa sepengetahuan orangtua. Biasanya, ibu selalu tahu ke mana saya pergi dan saya bisa kembali atas izin darinya. Sebelum ke Taman Sari saya memastikan dulu tempat yang instagramable ini seperti apa. Selintas unggahan teman-teman di Instagram memang epik karena bangunan ini memiliki ukiran kuno yang didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai tempat istirahat kereta kuda yang akan pergi ke Imogiri.
Bagi saya, berbicara perjalanan adalah tentang pandangan. Itu yang saya rasa jadi pembeda dengan para perjalan lainnya. Terlepas dari ke mana saya pergi entah ke pasar, taman dekat rumah atau kota-kota dekat lainnya, perjalanan selalu melatih diri saya untuk berpikir dari berbagai sudut pandang. Perjalanan tidak hanya tentang ke mana kita akan pergi atau apa yang kita dapatkan dari sebuah tujuan. Pandangan saya pada perjalanan salah satunya adalah “Rasa takut” ya, ketakutan. Saya takut tidak bisa keluar dari tempat ini karena penghuni-penghuni yang tidak kasat mata merasa terganggu.
Apa kamu pernah menonton Film Kramat? Film horor yang mengambil Yogyakarta sebagai latar belakang tempat berjalan ceritanya. Di antaranya pantai Parangtritis, Gunung Merapi dan Candi Borobudur. Film yang di angkat dari kisah perjalanan itu bukanlah film biasa di mana pemeran menggunakan skenario. Film itu di alami oleh pemainnya sendiri di mana mereka mendokumentasikan kisah selama perjalanan di Yogyakarta. Oke, lupakan. Saya berusaha untuk berpikir positif selama di dalam ruangan.
Nampak bagian tengah dari Taman Sari terlihat seperti tamannya para permaisuri. Bagaimana tidak? Sepetak kolam ini disimbolkan dengan pencarian kesenangan duniawi yang ditandai dengan air pancur mini di bagian tengah dan ke empat sudutnya. Mereka menyebutnya dalam bahasa Jawa sebagai Umbul Binangun atau Umbul Pasiraman yaitu merupakan kolam pemandian bagi Sultan, Permaisuri, para istri, dan para putra-putri raja.
Setelah menelusuri beberapa ruangan dan sampai di Umbul Binangun, Saya hampir tidak bisa membedakan mana jalan pintu keluar atau pintu-pintu masuk ke situs lainnya. Seperti Gedhong Sekawan, Gedhong Gapuro Panggung, Gedong Temanten, Pulo Cemethi dan Sumur Gumuling. Kalau saja di antar oleh pemandu wisata kami tidak akan kebingungan seperti ini. Akhirnya, kami menyelinap di antara mereka seperti bagian dari rombongannya.
blog.reservasi.com
Bias cahaya menyusup lewat lorong-lorong itu. Dipagari anak-anak yang berdiri karena tidak ditemukan tempat aktivitas di dalam Taman ini. Semakin jauh lorong itu mengantar kami ke dalam sepi, semakin terasa hembusan angin mati. Tapi mengapa mereka terlihat biasa saja sementara saya merasa peka pada kehidupan selain manusia?
“Kita keluar saja, yuk.” Pinta saya ke Damayanti. Dia tidak berpikir panjang dan kami segera pergi.
Apa yang membuat kita penasaran pada suatu hal? Kalau bukan karena pengaruh orang lain juga bisa karena rasa ingin tahu kita yang tinggi. Tapi, apa yang membuat saya penasaran mengenal lebih jauh tempat ini? Bukankah hal-hal berjalan di bawah langit terbuka jauh lebih menyenangkan dari pada mengenal sesuatu yang sudah tiada?. Bisikan hati terus meminta saya untuk segera keluar dari tempat ini. Damayanti masih sangat antusias untuk menemukan sebuah ruangan yang dibuat penasaran oleh orang-orang.
Tempat yang di cari akhirnya di temukan yaitu bangunan berbentuk lingkaran seperti cincin yang disebut Sumur Gumuling. Bangunan yang kami masuki melalui terowongan bawah air ini merupakan Masjid pada masanya. Di kedua lantai ini terdapat ceruk yang pada saat itu di gunakan sebagai mihrab di mana imam memimpin salat. Bangunan ini nyaris sempurna dengan empat buah jenjang naik dan bertemu di bagian tengah, sehingga dari pertemuan keempat jenjang tersebut terdapat satu jenjang lagi menuju lantai dua.
Bulu kuduk saya berdiri ketika berdiam lebih lama di Masjid bersejarah ini. Tatapan menjadi sedikit buram dan terbata-bata untuk bicara ke Damayanti selain mengakhiri kunjungan kali ini. Siapa pun yang menunggu tempat ini, mereka tidak ingin terganggu oleh kelalaian pengunjung. Mereka memberi isyarat agar kita tetap waspada di mana pun berada. Apakah seseorang itu jiwa yang abadi dari Sultan Hamengku Buwono I atau rekan-rekan lain di Keratonnya? Atau makhluk-makhluk lain yang memanipulasi mengatasnamakan jiwa-jiwa mereka?
Dari silaturahmi kita selalu belajar cara memperpanjang ikatan saling menghargai. Di manapun, kapanpun, dan pada siapa pun. Tidak hanya pada manusia atau tempat-tempat yang kau anggap keluarga terdekat. Kita yang selalu ingin berjalan mengenal lebih jauh ciptaan-Nya, pada sejarah atau kebudayaan yang terkikis oleh zaman, adab silaturahmi harus kita pahami sebelum berjalan dan mengenal lebih jauh lagi.
Wih mantap bu, tutur bahasa yg membuat serasa ada di yogyakarta langsung
Pas banget libur panjang ini pak, ayo berlibur ke Yogyakarta 😀