Mi, musim kini telah berganti. Daun-daun berguguran, retakannya diikuti daun-daun yang berguguran lainnya. Pernahkah kamu mendengarkan riuhnya desir angin yang menghalau daun hingga tersungkur tak berdaya? Dikeringkannya oleh matahari sebagaimana waktu mengubah warnanya sepekat tanah. Ia tak tahu apa-apa perihal nasib dan takdir namun melerai ikhlas jatuh dari pohon yang tinggi, rimbun, bahkan indah. Seperti itulah pula hidup seseorang, pertemuan, perpisahan, pada akhirnya akan menjadi takdir yang sudah digariskan oleh kenangan.
Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). Al-An’am:59
Kalau kamu sedang sendirian di taman, ambil lah satu daun kering itu dan resapi apa yang telah kehidupan berikan kepadanya. Mi, daun kering dan kehidupan itu hanyalah perumpamaan seperti apa hidup ini dijalani. Menjadi berarti, menjadi dirimu sendiri, menjadi bebas atau sebaliknya seperti burung dalam tawanan induknya. Kita semua akan bermuara pada pemiliknya.
Kehidupanmu itu unik dan penuh warna meski kamu ragu untuk menyadarinya. Seni dalam kehidupanmu bukan lagi sekadar kata-kata tak bernyawa namun visualisasi sketsa yang digunakan beragam manusia. Suatu hari yang lalu kamu bercerita ketika anak-anak sekolah memakai gaun yang kamu buat penuh peluh itu. Dari Tegalega ke Pasar Baru mencari bahan-bahan mentah untuk kamu desain sendiri sampai akhirnya tiba di pentas teater. Berkarya, teruslah berkarya. Walaupun kita tak tahu jalan hidup manusia kedepannya. Setidaknya kamu telah menjalani apa yang mungkin suatu hari kamu sesali karena tak melaluinya.
Bila suatu hari saya lupa menjelaskan kehidupan seperti apa yang telah kita lalui. Meskipun terkesan singkat suatu perjumpaan, namun begitu lama untuk saya menyadari arti perpisahan. Kita telah sepakati bahwa tak akan ada yang benar-benar memisahkan kita kecuali kematian. Entah kamu atau saya yang lebih dulu, mari kita berterima kasih pada kehidupan yang telah menyematkan kita pada rahim seorang perempuan.
Mi, catatan ini adalah upaya mengabadikan kenangan yang suatu hari mungkin kita tak akan bersama lagi. Karena perlahan waktu merenggangkan ikatan persahabatan kita dengan jarak juga status baru saya sebagai seorang istri. Kata-katalah yang pada akhirnya menyapih goyahnya hati dari perubahan-perubahan yang mana saya harus beradaptasi dengan kehidupan baru. Dengan kata-katalah bagaimana rangkaian peristiwa yang sudah berlalu menjadi hidup, menjadi ada, dan kamu bisa membaca saya kapanpun bahkan ketika terancam kerinduan. Kata-kata jugalah yang menghidupkan satu detik di auditorium Rumah Sakit Hasan Sadikin dari pada ucapan-ucapan yang mungkin saja telah lenyap begitu. Dari Gede Bage hingga Soekarno Hatta, dari Antapani, Dago, menuju Palasari lalu ke Pasar Baru. Tak terhitung berapa detik telah kamu korbankan waktumu untuk membantu saya dalam kondisi apa pun.
“Apa kabar?” pertanyaan itu berulangkali bergema di relung hati. Meskipun, salah satu guru Bahasa Indonesia pernah bilang bahwa kalimat apa kabar adalah kesalahan besar dari pada yang seharunya “bagaimana kabarmu?” namun lagi-lagi tak peduli. Merindukan bukanlah perkara menyampaikan isi hati secara ilmu pasti melainkan spontanitas bahasa dari kedalaman jiwa yang tak bertepi. Ya, you can see how deep I am.
Dulu, karena kesepianlah yang memenjarakan jiwa raga kita rasanya begitu merindukan penantian panjang. Perihal siapa yang akan mengisi relung kosong tuk saling menggenapkan dengannya. Seperti labirin dengan terang dibuat sendiri, merindukan adalah puncak tertinggi dari kehampaan. Namun apa pun itu bahasa kerinduan yang saya atau kamu tenun sendiri, akan selalu menjadi untaian rasa paling kuat bernama doa. Ya, do’a. Do’a-do’a saya untukmu itu seperti benang yang ditentun tanpa jeda. Aku menenunnya. Hanya do’a yang setiap hari saya harap menggetarkan Arsy perihal kebaikanmu yang semoga diganti dengan kelimpahan rahmat-Nya.
Di Bandung, Awan itu Tak Pernah Mendung
2013-2022 durasi waktu yang menjadikan Bandung ke rumah saya seperti dari dapur ke kamar mandi. Hampir setiap minggu Tuhan melapangkan segala urusan bolak-balik ke Bandung. Apa pun itu yang menjadi alasan utnuk menginjakan kaki di kota ini, persahabatan, keluarga dan kesehatan. Saya suka Bandung dengan segala keanggunannya sebagai kota kembang meski putiknya tak lagi harum dalam penciuman beberapa orang.
Dari cerita-cerita ibu menghabiskan masa mudanya di sana hingga saya menjadi penerusnya, Bandung selalu jadi mentari dari gelapnya hati dan gigilnya jiwa saat masih sendiri. Tak pernah terlihat awan mendung dari Cileunyi tempat saya turun dari bus Primajasa sampai Cibiru atau Cicaheum lalu menuju tempat yang dituju.
Dan kini merindukan Bandung bukan lagi perihal kekosongan yang kamu tanya saat itu. “apa sih yang lu sukai dari Bandung?” atau merindukan Bandung bukan lagi perihal kuliner hingga wisata alamnya. Merindukan Bandung bukan lagi perkara membeli baju di BIP Bandung Indah Plaza atau di Pasar Baru. Merindungan Bandung adalah tentang merindukanmu dan kebaikan-kebaikan yang kamu berikan tanpa dipikirkan terlebih dahulu.
Ada banyak tempat yang belum kita kunjungi di akhir tahun ini dan akhir-akhir tahun sebelumnya. Mendengar deru ombak di Pantai Drini Yogyakarta, menjejali dinginnya Dieng di bulan Agustus lalu menyaksikan ritual pemotongan rambut gimbal yang sudah menjadi tradisi penolak bala. Sampai rencana perjalanan senyap tuk menapaki Nabawi dalam sujud seorang penanti.
Mengingat rencana perjalanan-perjalanan itu, bukan perihal ke mana saya atau kamu pergi. Namun dengan siapa saat kesendirian dan masa penantian itu saya habiskan mi, kamu salah satunya. Meski Tuhan mempertemukan jodoh saya sebelum rencana itu terealisasi, namun tak ada penyesalan atas ketidaksampainnya.
Dan apa pun itu yang mengendap dalam perasaan termasuk kerinduan, tenunlah dengan doa. Seperti benang kau harus menenunnya. lagi-lagi hanya do’a yang saya tenun setiap waktu semoga apa yang telah direncanakan bisa menjadi kenyataan di kemudian hari. Saya dengan suami dan kamu dengan suamimu ya mi..Seperti daun-daun tadi yang berguguran, kamu harus percaya pada waktu yang menyingkap segala rahasia. Tak ada satu pun yang mengetahui pada rencana dan jalan hidup seseorang.
Semoga tahun ini, Tuhan segera menggenapkanmu dengan lelaki terbaik yang menemanimu sampai tua, sampai surga. 🙂
Leave a Reply