Rumah Akar adalah organisasi nirbala yang mewadahi anak-anak untuk membaca dan bercerita. Sebagai ruang yang menaungi anak-anak dalam mengembangkan kemampuan literasi, Rumah Akar menjadi oase di wilayah pesisir kota Tasikmalaya ketika kesenjangan pada anak-anak Indonesia dianggap telah selesai.
Mengapa mesti anak-anak?
Saya ingat beberapa tahun lalu ketika masih menjadi mahasiswa dan diminta menulis essai tentang teaching for young learners. Salah satu dosen mata kuliah Speaking yaitu Metty Agustine Primary menyebut enam orang penulis essai terbaik di dalam grup kelas yang mana ada nama saya tertulis di dalamnya. I couldn’t believe it but I recognize that focusing on young learners have already stolen my heart.
Berapa banyak jumlah anak di Indonesia yang telah kehilangan haknya dalam pendidikan sejak dini? anak-anak yang hidup di kota hingga desa-desa jika disamakan dalam perspektif kekurangan, mereka tak ada bedanya. Sama-sama hidup tanpa pendidikan atau kurangnya fasilitas pendidikan secara tidak langsung menjadi bumerang yang membunuh fungsi mereka dalam sudut pandang manusia. Dikutip dari laman website UNICEF Indonesia, Sepertiga penduduk Indonesia adalah anak-anak. Jumlah ini setara dengan sekitar 85 juta anak-anak dan merupakan jumlah terbesar keempat di dunia. Dengan wilayah negara yang sangat luas juga sebanding dengan kesenjangan anak-anak yang juga begitu besar.
Anak-anak adalah akar. Mereka tumbuh seperti nyiur bilamana keluarga dan lingkungan sebaik mungkin membentuknya. Layaknya pohon nyiur yang dilambangkan sempurna, anak-anak yang tumbuh dengan baik juga akan sedemikian rupa berguna bagi negara dan agamanya. Ada masa depan negara yang telah disematkan dalam tangannya, sehingga anak-anak butuh kualitas pendidikan baik dari keluarga maupun dari sekolah tempat mereka dibentuk dari berbagai aspek kecerdasan. Intelektual, emosional, dan spiritual. Di Indonesia tidak ada lagi kesenjangan pada anak-anak bila upaya orang tua dan pemerintah telah menyetarakan kebutuhan anak-anak sejak dini seperti perlindungan, perkembangan, cinta kasih dan pengertian.
Children are roots. Like the roots that support the strength of a tree, the establishment of a country is determined by the strength of the nation’s character that was formed since an early age.
Oase di Cikasungka Tasikmalaya
Melihat realita sebenarnya ketika saya jalan kaki dari pesantren ke tempat mengajar, sebagian anak-anak tidak seperti sedang menikmati masa kecil pada umumnya. Mereka terlalu mengejar kehidupan orang-orang dewasa entah dari pekerjaan maupun pergaulan. Roni, siswa kelas 7 Sekolah Menengah Pertama tak akan ragu menghabiskan beberapa batang rokok ketika pulang sekolah atau jam istirahat berlangsung. Dan pada waktu yang bersamaan, anak didik saya sengaja tidak masuk sekolah karena menuruti permintaan orang tuanya harus ikut ke gunung atau ke sawah. Di bagian motor yang ia tunggangi hingga bagian belakang tak pernah lepas dari karung beras dan tumpukan kayu diikat beserta rumput-rumput menyesakkannya. Itulah pemandangan sehari-hari yang kerap saya garis bawahi di sini.
Namun ada satu hal di mana mereka terlihat sama seperti anak-anak yang pada umumnya. Dari mana pun mereka dengan latar belakang hidupnya, entah dari bagian kelas mengengah ke atas atau menengah ke bawah, mereka sama-sama terkurung dalam gelapnya teknologi tanpa pantauan orang tua. Kecenderungan mereka terhadap gadget membuat kesadarannya lebih minim dari pada anak-anak yang sengaja tidak diberikan gadget selain diminta untuk membantu mencari nafkah orang tua. Tentu tidak mudah berasumsi liar tentang mereka kalau bukan mata sendiri yang membidiknya.
“gimana rasanya baca buku dari bukunya?” tanya salah satu anak SMP kepada temannya. Alih-alih memberikan kode supaya terdengar oleh saya saat berada di kelas bersama mereka.
“buku novel itu lah, novel-novel ya” bahasa mereka yang sedikit tak tertata dan terbata-bata namun saya mengerti ke mana arah tujuannya.
Tak terhitung hari-hari membawa saya semakin lupa untuk pulang. Rencana memberdayakan anak-anak terhadap minat baca semakin membara agar terealisasi secepatnya. Keinginan ini juga didukung dengan melihat kondisi perpustakaan sekolah yang minim dengan buku-buku sementara minat baca anak-anak SMA jauh lebih besar. Mereka sangat antusias mendengar berbagai genre buku yang saya jelaskan ketika mengajar, atau ketika menulis essai dengan referensi yang ternyata setiap bacaan harus disesuaikan dengan usia.
“buku apa bu, yang cocok kami baca?” satu pertanyaan anak laki-laki yang berusia 16 tahun.
“negeri lima menara, ranah tiga warna, dan rantau satu muara” sontak jawaban saya ingat ketika pertama kalinya membaca buku di usia seperti dia. Ketiga buku itu yang mengawali perjalana saya sebagai siswa SMA. Dia terpogoh dan merasa takjub dengan antologi Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi di mana ke tiga buku tersebut saling berkaitan membagikan kisah hidup si penulis meraih impiannya sekolah di Amerika.
Kesenjangan anak-anak di Cikasungka tidak membuat desa ini pincang jika disandingkan dengan kota-kota besar lainnya. Potensi alam desa ini jauh lebih signifikan menjadi alat sambung hidup yang lebih baik. Sawah, gunung, sungai, air terjun kerap menjadi pemburuan orang-orang tak dikenal karena selain menghasilkan pangan juga menjadi tempat menenangkan. Desa Cikasungka terlihat seperti oase di mana letak geografis wilayah ini sangat subur.
Pada malam itu kami telah selesai mendiskusikan sebuah nama untuk komunitas pemberdaya minat baca. Menentukan nama untuk komunitas ternyata tak semudah yang dibayangkan sebab memiliki filosofi atas tercapainya suatu tujuan. Pak Dian yang mencetuskan Oase akhirnya berdamai dengan saya ketika lebih dulu memilih nama Rumah Akar. Saya memang suka dengan kata oase atau oasis, sebagaimana desa Cikebi, Cikasungka yang dipandang dari atap sekolah seperti sumber mata air di tengah gurun. Pak Dian berharap anak-anak desa Cikasungka akan menjadi pelopor negara yang sukses dengan masing-masing dalam dalam memajukan tempat tinggalnya.
Leave a Reply