Menjadi Berarti

Hidup hanya satu kali, hiduplah yang berarti-Ahmad Fuadi

Kutipan itu sudah tak asing lagi di telinga kita. Kurang lebih 5 tahun yang lalu saya mendapatkannya dari trilogi Negeri 5 Menara di antaranya Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara. Apa yang beliau katakan sangat menggelitik peran saya sebagai manusia dalam hidup ini. Buya Hamka juga pernah mengatakan bahwa jika hidup sekedar hidup babi di hutan juga hidup, kalau bekerja sekedar bekerja kera juga bekerja. Pernyataan itu lebih memalukan seolah hidup saya tak ada bedanya dengan babi dan kera. Tapi dari pernyataan itulah saya akhirnya bisa membedakan manusia dengan binatang hanya terletak pada substansinya. Manusia dianugerahi akal untuk membedakan mana yang baik dan tidak sedangkan hewan tidak memilikinya.

Pernyataan Ahmad Fuadi dan Buya Hamka Banyak menjadi mantera untuk membentuk pribadi ini menjadi berarti dengan kehidupan yang hidup dan bermanfaat bagi orang lain.Menjadi berarti itu tidaklah mudah bagi sebagian orang di luar sana termasuk saya sendiri. Seringkali saya mencari suatu hal yang bisa membuat diri menjadi berarti. Apakah itu nominal atau kemampuan yang menjadi ruh dalam diri saya dan orang lain bisa merasakannya?

Hidup yang tak bermakna adalah hidup yang tak layak dijalani. -Socrates-

Semakin banyak pernyataan dari para pemikir besar, semakin antusias saya mencari dan semakin tak ada jawaban. Mungkin saja menjadi berarti itu  berkaitan dengan pembentukan diri. Saat kita sudah mendapatkan nilai-nilai yang lebih dari  spiritual, emosional, intelektul dan finansial, tapi nilai-nilai itu hanya terkurung dalam diri seolah kita sudah selamat dari kesengsaraan, sebenarnya kita sedang menyengsarakan diri sendiri. Menjadi berarti adalah melepaskan apa yang kita miliki. Seorang perempuan akan menjadi berarti bagi pasangannya saat ia sudah melepaskan kehormatannya. Begitu pula dengan laki-laki saat ia tak lagi malu menelanjangi diri di hadapan istrinya. Keduanya menjadi saling berarti dengan memenuhi kebutuhan batin masing-masing. Seorang anak akan menjadi berarti bagi kedua orangtuanya ketika ia nurut dan orangtua pun memiliki arti di mata anak-anak saat mampu melebur ke dalam dunianya. Perumpamaan itu hanya definisi spesifik dari menciptakan makna untuk diri kita sendiri. Kalau peran kita sebagai manusia hanya menjadi berarti untuk diri sendiri saja, saya jadi takut membayangkan pernyataan Buya Hamka jika hidup sekedar hidup babi di hutan juga hidup dan jika bekerja sekedar bekerja kera juga bekerja. Babi dan kera tak ada bedanya seperti manusia yang juga menyalurkan hasrat sexsual dan mencari makan. Anak-anak babi dan anak-anak kera juga nurut pada induk dan bekerja demi keberlangsungan hidupnya.

Apa yang telah kita lakukan untuk orang lain? Karya apa yang telah menghidupkan jiwa kita sebagai manusia? Dan apakah kita sudah berkarya untuk kepentingan orang lain? Di luar sana orang-orang sangat sibuk dengan pekerjaanya, saya pun tak kalah menyelaraskan pencapaian dunia seperti apa yang mereka lakukan. Kita sama-sama mencari dan menciptakan nilai atas pencapaian untuk diri kita. Tapi satu hal yang membedakan kita dengan manusia lainnya adalah peran kita dihadapan Tuhan.

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاس

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

HR.Thabrani dan Daquruthni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Proudly powered by WordPress | Theme: Baskerville 2 by Anders Noren.

Up ↑