Mengapa Sebuah Penerimaan Harus Membuat Diri Menjadi Terasing?

Hari itu saya keluar dari kelas dan melihat bangunan lain yang dekat ke jalan raya. Anak-anak mulai meramaikan sekolah setelah mengisi lapangan upacara memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Mereka sedang asyik bermain voli sementara guru-guru sibuk di kantor dengan kehidupannya masing-masing. Ada yang makan mi ayam, mengobrol dengan kolega, ada juga yang sedang mengerjakan sesuatu di depan komputer.

Kegiatan itu nyaris seperti penjara yang membelenggu kebebasan untuk bergerak dan bersuara. Ya, bersuara tidak selalu harus mengeluarkan konotasi dan bunyi kan, menulis adalah salah satunya. Entah, mungkin saya hanya seorang pembosan dengan stratifikasi sudut pandang berbeda dari orang-orang kebanyakan.

31 Agustus 2019

Di atas lantai dua bangunan kelas 12, desa Cikasungka dikelilingi pegunungan dan sawah yang terhampar jelas. Desir angin membawa rindu saya pada rumah dengan bayang-bayang wajah mamah. Pada teman-teman yang setiap minggu berkumpul mendiskusikan hal-hal tidak jelas sambil menikmati bolu coklat, bolu keju, dan makanan ringan yang terbuat dari aci-aci (Tepung tapioka).

Sudah hampir tiga bulan desa ini menjadi tempat meditasi dari kecacatan pikiran dan perasaan yang tidak diinginkan terjadi. Ketika saya memilih keluar dari kantor, terserang GERD gastroesophageal reflux disease selama delapan bulan, lalu seseorang yang sudah lama tinggal harus melabuhkan pilihannya pada orang lain. Tahun yang penuh teka-teki kini harus dilewati dan tentunya belajar menerima berbagai kehilangan. Tapi bagaimana pun juga hidup tidak selalu tentang merasakan kebahagiaan atau hal-hal indah yang mesti selalu kita jaga. Baik buruk sebuah peristiwa atau sesuai tidaknya skenario Tuhan juga perlu diterima dengan penerimaan yang tulus.

“Ibu lagi ngapain? di sini kampung ya. Pasti ibu bosen.”  sapa seorang perempuan yang menghampiri saya meski pun kami belum mengenal satu sama lain.

“Enggak kok teh, suka banget dengan desa ini, adem.” tengok saya padanya dengan memberi jawaban singkat.

“Aku nggak suka dipanggil ibu teh, nama aja.” tutur saya kembali agar ia memanggil nama.

“Ah, nggak apa-apa. Kan kita ibu guru.”

“Oh iya, kata Bu Ai, ibu seneng bepergian ke pelosok-pelosok ya, pasti di sini betah kan? desa ini juga pelosok”

“iya,” jawab saya singkat.

“Tapi desa ini nggak terlalu pelosok teh.” Jawab saya kembali lalu kami menertawakan mobilitas letak geografis latar belakang tempat kami tinggal.

Pergi pelosok-pelosok kota adalah tentang melihat sesuatu yang tidak nampak di permukaan. Jika dunia seperti perhiasan yang dibuat gemerlap lampu-lampu malam dan gedung-gedung tinggi dengan gaya modernisasi, orang-orang berbincang gaya hidup dari fashion hingga mempercantik diri. Maka hanya di pelosok-pelosok kota lah manusia bisa menemukan apa yang tidak ada dalam gemerlap dan kemewahan-kemewahan yang fana itu.

“Yaudah kalau ada apa-apa ibu bisa bilang ya, jangan ragu dan jangan malu. Apalagi kalau ibu main ke rumah, senang banget rasanya.” Jawab ia sambil menepuk bahu dan meninggalkan saya sendirian di tempat ini.

Orang-orang di desa ternyata sangat ramah dan terbuka. Padahal saya baru pertama kalinya tegur sapa dengan teh Noneng, tapi tidak ada perasaan asing dalam hatinya yang membuat ia harus mengenal karakter saya lebih jauh. Berbicara dengannya, membuat saya berhenti menerka-nerka bahwa kepergian dan perpisahan bukan lagi ruang kosong yang pada akhirnya menjadi sendiri. Bertemu dengannya membuat saya paham bahwa perpisahan dan terasing dari keramaian adalah permulaan dari sebuah perjalanan dan kehidupan yang baru.

Kini penerimaan yang tulus adalah seberapa jauh menerima diri sendiri tidak peduli berada di mana dan bersama siapa. Yang sebelumnya patah kini menjadi utuh, yang sebelumnya berdarah-darah kini menemukan rumah, yang digantung atau ditinggal pada akhirnya waktu akan bermuara pada jawabannya.

Selain berusaha menemukan pengetahuan dari sesuatu yang tersembunyi,tinggal di sini juga bagian dari training agar saya bisa bertahan ketika berada di pelosok Indonesia lebih jauh lagi. Bagaimana rasanya ketika jauh dari rumah dan hidup tanpa melibatkan orang-orang terdekat dalam kurun waktu yang cukup lama. Itu tidak mudah. Tapi saya serahkan kembali segala urusan dan mimpi-mimpi itu kepada Tuhan. Semangat ini memang tak pernah pudar namun tak seimbang dengan kesehatan jasmani ketika dihadapkan dengan sesuatu yang cukup berat dan sulit. I know it, menthally I am bad.

Mengapa sebuah penerimaan harus membuat diri menjadi terasing?

Menjadi terasing bukanlah alienasi yang menjadi penyakit manusia karena diabaikan atau ditinggalkan. Waktu saya sekolah SMA atau saat ini melihat fenomena politik aliansi dalam lingkungan masyarakat, ada beberapa teman yang dijauhi oleh teman lainnya sehingga ia menjadi terasing karena tidak ada yang ingin mendekatinya. Lihatlah ia sudah diasingkan bukan karena ia memilih menjadi terasing.

Zulkaida Akbar, seorang doktor yang menempuh jenjang pendidikan terakhirnya di Florida State University Amerika mencurahkan isi pikirannya dalam artikel “Barangkali kita perlu menyendiri dan menyepi”.  Ada satu kutipan yang membuat saya semakin percaya diri ketika memilih menjadi terasing yaitu orang-orang hebat telah melahirkan karya-karya besar yang pada umumnya melewati titik kesunyian.

Saat memilih terasing bukan berarti saya tidak memiliki siapa-siapa dan status sosial yang menempatkan siapa diri saya dalam lingkup pekerjaan atau tatanan masyarakat. Akan tetapi saya memutuskan sementara untuk belajar memahami diri sendiri dengan menjaga jarak dari keramaian. Teman-teman saya pun masih memberi kabar, dan saya juga tak ketinggalan menyampaikan tujuan dari mengasingkan diri itu. Rasulullah SAW harus melewati kesendirian di gua Hira sebelum diangkat menjadi Rasul begitu pun dengan Siti Rabiah Al-Adawiyah melewati masa-masa yang membawa ia untuk merenungkan kisah hidupnya dalam kesunyian sebelum menjadi sufi dengan konsep mahabbahnya.

Sebuah penerimaan diri dan jalan hidup yang Tuhan berikan kepada manusia selalu berdampingan dengan renungan. Apakah yang begitu menyakitkan dan menyenangkan jika menerima sesuatu dari Tuhan? untuk menerima ketetapan, saya mesti terasing agar mampu melepas diri dari aktivitas duniawi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Proudly powered by WordPress | Theme: Baskerville 2 by Anders Noren.

Up ↑