Ketenangan adalah perkara yang diburu ribuan umat manusia agar tetap menjadi manusia. Begitu mahal ketenangan hingga kau sendiri sering lupa untuk mendapatkannya. Kebersamaan, kesendirian, keramaian hingga keheningan juga tak menjamin ketenangan itu ada. Katanya ketenangan adalah menghidupkan kembali senyawa biokimia dalam tubuh yang telah mati, dengan psikotropika atau ganja ia mudah kau dapati satu detik saja. Perihal tenang yang hilang, semesta ini memiliki tata krama dan aku adalah orang yang menjunjung tinggi etika. Menjadi seorang nomade berarti menyelamatkan diri dari tipuan-tipuan fana yang bernama psikotropika itu. Atau barangkali kau ingin ikut denganku? hidup dengan tidak melibatkan apa-apa selain meleburkan isi hati dan kepala ke alam semesta.
Betapa bahagianya hidup berpindah-pindah tanpa campur tangan orang lain dalam memutuskan perkara apa pun termasuk menentukan jati diri. Karena tak ada yang menyenangkan hidup di dunia kecuali segala persepsi dapat diubah atas dasar kepercayaan bahwa hidup hanyalah persinggahan. Dan siapa pun bebas melakukan apa pun atau sama sekali tidak melakukan dengan tidak menginginkan apa pun.
Hidup bergelimang harta tentu bahagia bagi seorang materialis namun menjadi seorang idealis terkadang penjara yang kebiri oleh pikiran sendiri. Lalu mempertaruhkan mana yang lebih unggul di antara keduanya sangat berat tanpa hakikat yang menjadi jembatan terhadap realitas kehidupan. Itulah mengapa seorang seniman akan selalu dikagumi dari seseorang yang agamis, dan politikus. Dan apa yang lebih berarti dari pada sekadar mengagumi tanpa membebaskan diri untuk menciptakan seni? menjadi seorang nomaden yang bahagia barangkali menjadi jawaban sementara ketika idealisme, realisme, dan materialisme sulit disetarakan dalam satu pandangan menjadi ke “aku”an.
Mengapa kau ingin menjadi seorang nomaden? dan mengapa ia juga begitu bangga menjadi seorang nomaden? berawal dari pengalaman pertanyaan itu selalu ditanyakan pada orang lain termasuk diriku sendiri. Namun jawabannya seolah telah kehilangan makna orisinilnya, memilih hidup berpindah-pindah bukan lagi karena pergantian musim atau berburu kebutuhan material. Makna nomaden hanya sinonim dari “kebebasan” sebagaimana kini betapa bebasnya menguraikan alasan mengapa seseorang memilih kehidupan tersebut. Nomaden juga bisa menjadi sebuah perlawanan dari gagasan-gagasan mengatasnamakan tanggung jawab terhadap diri atas pencarian, kekecewaan, kebosanan, atau kekinian. Hal-hal seperti itu yang membuat sebagian orang percaya bahwa menjadi seorang nomaden adalah invasi pemikiran dan perasaan yang didasari oleh perlawanan untuk memiliki diri sepenuhnya.
Seseorang yang memilih hidup nomaden tentu bukan tanpa alasan mengapa ia menginginkannya. Meski pun bersandar pada kebebasan, tak ada seorang pun berani menyanggah jika kebebasan tetap memiliki anak kata-kata yang sarat maknanya.
Rumah
Rumah bukan lagi ruang yang menjadi tempat pulang. Rumah adalah sumber senyawa biokimia yang setiap menit, setiap waktu, setiap hari kita hirup berulangkali. Rumah adalah dimensi di mana setiap pergerakan waktu kita rasakan begitu cepat atau lambat berotasi. Rumah adalah kerangka perasaan yang tercipta menjadi epilog dalam diri kita, entah tawa atau lara.
Yang tertinggal di rumah kini hanyalah tafsiran-tafsirannya you can buy house but not home. Hampir setiap rumah di desa maupun kota kehilangan makna yang dapat menumbuhkan benih-benih manusia. Rumah bisa berubah seketika menjadi mosca atau nirvana oleh siapa saja yang menyalakan api di dalamnya.
Seorang nomade percaya bahwa rumah tidak selalu identik dengan bangunan saja. House is not home. Atap yang tersusun dari genteng, kaca-kaca jendela, teras hingga segala perlengkapan di dalamnya tidak lagi berarti ketika jiwa bergejolak. Hanya di alam semesta mereka dapat merasakan teduh di antara keruh.
Man Qua Man
Manusia hanyalah manusia dalam sudut pandang manusia. Satu zat yang bergerak dan di gerakan oleh yang menghendakinya. Manusia bukan hakim yang dapat menilai manusia mana layak di lempar ke neraka atau surga, ia hanya lawan main dalam kehidupan dengan segala dinamikanya. Sebagai manusia yang tidak bisa lepas dari hubungan-hubungan manusiawi dengan dunia seperti mendengar, melihat, merasakan, menyentuh, berpikir, mengamati dan mencintai, manusia juga bisa menjadi bergairah dengan memiliki kecenderungan inheren untuk memperluas pengetahuannya akan kenyataan. Hidup berpindah-pindah tidak akan menutupi seseorang tuk berpura-pura pada lingkungan sekitarnya, hidup berpindah-pindah justru membebaskan diri dari ekosistem emosi.
Making Living and Meaningful Life
Pada zaman dahulu, manusia hidup sebagai pengumpul makanan. Orientasi-orientasi hidup manusia sama seperti hewan yaitu membutuhkan makan dan hubungan seksual. Namun secara esensial, hewan mendapatkannya sesuai kapasitas perkakas insntingtifnya sedangkan manusia ada fleksibillitas dalam porsi lebih besar yang bisa dipilih sesuai keinginanya.
Menjadi seorang nomade adalah upaya membangun kehidupan making living dan itu bukan masalah. Membangun kehidupan adalah utilitarian yang dititikberatkan pada kebahagiaan happiness. Tak terkecuali hari ini bahkan ketika sudah menjadi manusia modern pun bukan hanya menginginkan makanan melainkan rumah, anak, pernikahan, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang diinginkan.
Albert Einstein cenderung percaya ” dadu yang di lempar keluar mangkuk” bahwa manusia tidak hanya ingin tahu apa yang diperlukan untuk bertahan hidup, namun ia juga ingin memahami makna dari kehidupan itu sendiri meaningful life. Manusia tidak hanya mencari tahu apa yang mereka inginkan untuk kebutuhan hidupnya melainkan makna kehidupan itu sendiri. Ia sadar akan dirinya sudah berjalan dan berkembang di tengah kepunahan sejarah, dengan begitu menjadi seorang nomade adalah aksi menghindari bunuh diri di tengah kemajuan zaman yang membosankan.
Mastering Field of Life
Mengenal medan kehidupan akan selalu dihadapkan pada retorika setiap peristiwa. Mengenal beragam medan bukan sekadar memposisikan diri sebagai petualang menelusuri hutan atau menyelami lautan. Ada banyak situasi yang harus diperhatikan ketika bercampur dengan rupa-rupa orang seperti cara komunikasi atau merestorasi persepsi. Sehingga menguasai banyak medan bukanlah pekerjaan berdiam diri sekadar mengamati akan tetapi upaya melibatkan diri, menjadi berarti, dan hidup berdasarkan kaidah-kaidah pengembaraan.
Retorika peristiwa .. suka :D.