Kehidupan setelah menikah nyaris berbeda seratus delapan puluh derajat. Pada mulanya mempertahankan impian kini berpikir bagaimana caranya untuk bertahan. Pada mulanya ingin meneruskan bepergian namun harus berdamai dengan banyak keadaan. Apa pun yang terjadi atas banyak kondisi, ketidakstabilan kesehatan, hubungan dengan keluarga, teman, ekonomi, pekerjaan, adalah seperti daun yang berguguran di musim panas diikuti berguguran daun-daun lainnya. Namun pepatah lama itu masih tumbuh dalam ingatan bahwa musim selalu berganti. Tak ada yang statis dalam hidup ini segala kondisi mengikuti pergerakan waktu ke mana arah mata angin pergi.
Kehidupan tak akan sepenuhnya sama seperti yang direka dalam ingatan masa muda. Saat itu mudah bagi otak untuk menggambarkan idealisme dari pada realisme kehidupan seperti apa nanti setelah menikah atau setelahnya. Apakah akan segera memiliki anak atau ditunda dalam durasi waktu yang cukup lama? Apakah hubungan pernikahan akan langgeng sampai maut memisahkan bahkan sampai ke surga atau kandas dalam neraka dunia?.
Namun, memikirkan dua kemungkinan dalam hidup ini sangat dianjurkan dalam kamus Marcus Aurelius (MEDITATION). Kita mengenal istilah Premeditatio Molorum yaitu ketika hal-hal yang tak diinginkan terjadi, kita sudah siap menerima dengan tidak membiarkan diri kita jatuh terlungkai. Premeditatio Molorum mengajarkan bahwa tidak ada yang bisa menjatuhkan diri kita dalam penderitaan atau menyesatkan diri kita dalam kegelapan melainkan diri kita sendiri. Karena dengan Premeditatio Molorum kita sudah terbiasa melatih mental untuk kemungkinan-kemungkinan terburuk di masa yang akan datang.
Bagaimana jika premedetatio molorum diaplikasikan dalam kamus pernikahan? Barangkali hidup akan terasa lebih mudah bagi diri yang meleraikan segala perasaan negatif dalam hatinya. Tak ada lagi ketakutan, cemas, gelisah, sedih, karena apa pun yang ditanamkan dalam hati adalah perihal keihklasan akan penyerahan diri.
Ada banyak bekal yang saya ambil dari kehidupan-kehidupan senior di Cikasungka Tasikmalaya dulu. Pada saat masih mengabdi di sana, tanpa ajaran dari mereka langsung pun saya telah merekam bagaimana kehidupan setelah pernikahan mereka berjalan.
Di salah satu seorang senior yang menampung saya selama tiga bulan bermalam di rumahnya, mereka mendefinisikan kehidupan setelah menikah adalah berjuang bersama. Seorang suaminya saat itu bekerja di tempat yang sama sebagai guru honorer yang juga kurang handal dalam melakukan bisnis. Apa yang saya lihat begitu dominan adalah istri si suami tersebut. Selain sebagai seorang istri yang mengurus dua anak, ia juga selalu memikirkan binis kemudian menjalaninya sebagai pedangang rumahan. Salah satu yang membuat mereka terlihat bahagia adalah kerelaan untuk menerima kekurangan satu sama lainnya meskipun secara faktor ekonomi sangat kurang. Tentu saja berbeda dengan kehidupan pernikahan senior yang lainnya, di mana saat itu saya membandingkan kehidupan si B. Perangainya yang cantik dan lahir dari keluarga berada, sangat sepadan dengan suaminya yang selaras dengan parasnya. Siapa sangka kalau dibalik kehidupan mewahnya si istri tersebut menyimpan segala kecemasan dan kesedihan? Kehadiran satu anak laki-laki yang masih kecil pun masih kurang membuat ia cukup tanpa perhatian dan kasih sayang suaminya. Seorang laki-laki yang bekerja di Bank dan mencukupi banyak uang pada istrinya itu, juga masih senang mengencani beberapa perempuan yang cantik dalam pandangan nafsu birahinya.
Ada yang lebih memilukan dari pada itu, ketika kehidupan si C tidak sama seperti yang A atau pun B. Di mana setelah menikah mereka harus LDM (Long Distance Married) demi kepentingan keluarganya masing-masing. Sedangkan mereka lupa bahwa kehidupan setelah menikah adalah bagaimana mengurus dan menumbuhkan kehidupannya sendiri.
Dari sana saya selalu berpikir bagaimana kehidupan saya setelah pernikahan nanti? Mana yang akan mendekati antara si A, B, atau C?. Itulah mengapa kegiatan pranikah mesti diikuti oleh anak-anak muda yang ingin melakukan pernikahan sebagai tindakan preventif dari pernikahan yang tidak ideal. Memang tidak ada pernikahan yang sempurna namun kesadaran untuk menerima dan belajar memperbaiki diri adalah sebaik-baiknya jalan bahwa manusia diciptakan dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
Allah adalah sebaik-baik pembuat skenario sepanjang hidup. Tak ada yang mampu menginterpretasikan atau menyamakan presepsi kehidupan setelah pernikahan antara si A, B, atau C atau bahkan dengan beberapa cerita dari teman-teman yang telah menikah lainnya. Setiap kehidupan mereka begitu unik dan tak ada yang persis sama antara satu sama lainnya. Tak ada yang sama ujian apa yang Allah berikan pada satu sama lainnya.
Lalu bagaimana dengan kehidupan saya? Banyak sekali yang ingin diceritakan dalam episode perjalanan kali ini. Namun sebagai pribadi yang memiliki keterbatasan waktu, tidak selalu cerita layak dibagikan selain menumpukannya dalam ingatan. Sebagaimana tak ada pernikahan yang sempurna, saya menyadari bahwa apa yang saya dapati lebih banyak nikmat dari pada madharatnya. Lebih banyak bahagia dari pada dukanya, lebih banyak syukur dari pada kufurnya. Allah telah memberikan saya seorang laki-laki yang lembut hatinya dan tahu cara memuliakan saya sebagai perempuan. Allah telah memberikan rumah di mana hati saya sangat nyaman tertinggal disebelahnya. Sebab apa yang awalnya saya cari adalah rumah dan ketenangan, namun melebihi itu apa yang telah Allah berikan menjadikan saya sebagai perempuan yang paling beruntung dan bahagia.
Leave a Reply