Mengapa saya memilih laut sebagai entitas yang mesti mendapat interpretasi luas dari para sufi? Lautan ditafsirkan sebagai wisata bahari memiliki esensi yang berkaitan dengan nilai-nilai folosofi. Bukan hanya bagi para pemikir yang senantiasa merenungkan hakikat-hakikat kehidupan melainkan para sufi juga menyelami lautan dengan hati dan pikirannya.
Ada pesan-pesan tersirat ketika hentakan gelombang mulai pasang, bias samudera membayangi warna langit diikuti ombak yang diam-diam menghancurkan terumbu karang, jejak kaki pejalan menyamarkan pasir menjadi bayangan, dan saya hanyalah tak berarti di alam semesta ini.
Apa yang begitu istimewa dari laut jika bagi seorang penyair laut adalah ibu dari alam semesta di mana rindu menjadi surut, jika bagi seorang pencinta alam bebas laut adalah miniatur tempat snorkeling atau free diving?. Bangsa Romawi percaya laut adalah kegelapan misterius hingga abad ke-18.Banyak mitos dan cerita rakyat jika laut adalah penguasa peradaban ketika lidah ombak menjadi kuda-kuda putih yang menarik kereta Dewa Napiton. Dan saya sendiri memilih topik tulisan ini sekadar menumpahkan isi kepala atas kekosongan yang saling meniadakan bahwa tak ada kegelapan dalam diri seseorang entah di kepala atau di dalam hati melainkan di lautan. Sebagaimana Tuhan berkata dalam firman-Nya:
أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَنْ لَمْ يَجْعَلْ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ].
“Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 40)
Laut seringkali menjadi penggalan renungan yang berkali-kali disebut. Mungkin saja kau bertanya-tanya mengapa para sufi, ulama, penyair menganalogikan buah permasalahan untuk dipahami itu seperti lautan bukan gunung atau miniatur alam lainnya?. Habib Luthfi bin Yahya memandatkan laut seperti harga diri dan integritas diri seseorang. Kita yang hidup di negara dengan minim etika, kiranya perlu berkaca dari para sufi yang sudah menyelami lautan sepanjang pemikirannya.
Berapa pun debit air yang mengalir masuk ke laut, tak mampu mengubah keasinan laut. “Laut punya harga diri. Kalau bangsa ini seperti laut, maka tantangan apa pun termasuk ekonomi global juga tidak akan membuat bangsa ini goyah,”
Habib Luthfi bin Yahya
Pernahkah kau bertanya mengapa laut harus berwarna biru? seakan-akan langit memantulkan bayangan warnanya di mana kedua nya saling bertemu pada garis yang sama. Fenomena pertemuan yang tak lagi dipertanyakan sebagaimana masing-masing laut juga menyambungkan entitasnya.
مَرَجَ ٱلْبَحْرَيْنِ يلْتَقِيَانِ . بينهُمَا برْزَخٌ لَّا يبْغِيَانِ
“Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu. Di antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing.”
QS. Ar-Rahman : 19
“Seorang alim yang biasa merenungkan makna segala sesuatu, pergi ke tepi laut dan menanyakan mengapa lautan memakai pakaian biru? Biru, menurutnya, adalah warna duka. Dia juga bertanya mengapa lautan mendidih tanpa api? Laut menjawab pada manusia perenung itu. “Aku risau karena terpisah dari sahabatku. Karena kekuranganku, aku tak layak baginya; maka kukenakan pakaian biru ini sebagai tanda sesal yang kurasa. Dalam kesedihanku, pantai-pantai bibirku kering, dan disebabkan api cintakulah, aku mendidih dalam gulungan ombak ini.” Lalu laut itu mengeluh lirih, “Ooh, kalau saja kuperoleh setitik air surgawi dari Al Kausar (sesuatu yang berlimpah ruah), maka mungkin dapat kukuasai gerbang kehidupan kekal. Tanpa setitik itu, aku bakal mati terhimpit gairah cinta ini bersama ribuan pendamba lain, yang binasa dalam perjalanan.”
Laut tak hanya menyimpan misteri yang dilapisi berbagai kegelapan. Ialah cinta juga kebebasan yang telah dipadankan dengan ruang tak bertepi bernama kehampaan. Rumi tak percaya jika langit dan laut dalam interpretasi yang sama dalam memaknainya.
Cinta adalah lautan tak bertepi dan langit hanyalah serpihan buih belaka.
Jalaluddin Rumi
Begitu juga hidup yang mana tafsiran-tafsirannya tidak berhenti pada persamaan seseorang ketika mengemudi kendaraan. Atau seperti naik gunung di mana untuk sampai ke puncak hanya perlu menapaki langkah kecil untuk memulainya. Hidup juga seperti lautan dalam pandangan Buya Hamka, manusia di bawa ke tanah tepi atau tidak sama sekali.
Kehidupan itu laksana lautan. Orang yang tiada berhati-hati mengayuh perahu, memegang kemudi dan menjaga layar, maka karamlah ia digulung oleh ombak dan gelombang. Hilang di tengah samudera luas tiada akan tercapai olehnya tanah tepi.
Buya Hamka
Sampai manusia mati lautan masih membuntuti hingga keabadian. Saya bertanya-tanya mungkin saja di surga tersedia lautan juga?
Orang yang masuk kubur tanpa bekal bagaikan lautan tanpa kapal.
Abu Bakar Ash Sidik
sangat mendalam.