Catatan 80 Hari-Adaptasi Dengan Para Santri

Malam semakin larut membawa kami dalam lelap. Di ruangan yang kedap ini tak terdengar suara apa pun selain dibuat nyenyak oleh balutan sleeping bag. Rasa kantuk yang memabukkan membuat mata tak bisa terbuka. Ani berusaha meyakinkan bahwa di ruangan ini kami benar-benar tidak aman. Di pukul 23:30, ia terbangun mendengar suara gaduh dari luar. Suara keras seorang lelaki diikuti pukulan pintu yang keras. Ia mulai gelisah ingin segera melarikan diri ke rumah warga dan saya berusaha meyakinkan namun sulit diterima bahwa semua akan baik-baik saja. Malam ini memang tak seperti biasanya, perlahan ketakutan-ketakutan muncul dengan berbagai alasan. Namun ada ketakutan yang membuat saya semakin berani menghadapi rasa takut itu sendiri, yaitu saat ketakutan menampakkan rupanya. Dan menghadapi teror dari lelaki berambut panjang itu menjadi ketakutan yang berani saya lalui malam ini.

https://rinalusiana.com/catatan-80-hari-hari-ke-dua-dari-anak-anak-di-penjara-suci/

Subuh berlabuh, suara azan terdengar nyaring dari surau yang berdekatan dengan pesantren. Atmosfer di tempat seperti ini sama sekali tak membuat saya hibernasi lebih lama di atas tempat tidur. Entah malaikat apa yang gesit menjauhkan saya dari kemalasan seperti kebiasaan-kebiasaan di rumah. Tidak mudah berjalan seorang diri dengan ruang hati yang sudah lama dibiarkan tanpa penghuni.Tak mudah juga bangkit dari sekian lama terjebak rasa sakit. Ketakutan apa pun yang saya temukan di sini, jauh lebih baik dari pada ketakutan-ketakutan yang hampir membawa setengah diri tanpa alasan.

Ani melaporkan kejadian semalam pada calon suaminya. Lelaki itu  bernama Pak Dian kepala sekolah Madrasah yang juga di percaya mengurus pondok pesantren setelah Pak Mumu. Mendengar peristiwa semalam, wajah Pak Dian mendadak merah menyembunyikan emosi yang tak bisa di tahan. Ani berusaha meredakan dengan kalimat-kalimat yang tak bisa saya dengarkan. Bagaimana pun juga, tak ada seorang pun yang perlu tahu percakapan seperti apa dari mereka berdua. Bisa jadi percakapan orang dewasa tentang bagaimana sentuhan kata-kata menyusup ke dalam hati dan pikirannya. Yaaah jomblo dilarang tau :p. Ada sedikit kecemburuan bagaimana waktu segera menyatukan mereka dalam pernikahan. Mengingat perjalanan cinta yang karam di lautan dan digugurkannya satu per satu oleh Tuhan,tapi kecemburuan itu hanya sesaat mengingat banyak mimpi yang satu per satu saya wujudkan. Ya, semuanya ada waktunya.

Sebenarnya Pak Dian dan Ani sudah tahu bahwa itu perbuatan beberapa santri nomaden yang mencuri perhatian kaum perempuan. Sebelumnya mereka tahu akan ada guru baru yang mondok di pesantren ini, tapi saya nggak tahu apa yang menjadi perhatian mereka dari kami. Saya sendiri tak merasa berbuat kesalahan apa pun selain menjaga sikap dan sopan padanya. Bahkan dua hari yang lalu mereka melempar senyum malu-malu dan memperkenalkan diri. Raut wajahnya tak menakutkan seperti yang orang-orang katakan. Hanya saja rambut mereka memang panjang dan gimbal jadi sedikit mengganggu apalagi jadi bahan ejekan anak-anak. Memilih bungkam adalah cara yang paling tepat saat melihat mereka diinterogasi oleh Pak Dian dan Ani. Seburuk apa pun citra mereka setelah membuat kegaduhan di sini, mereka adalah orang kesekian yang saya temui dalam perjalanan memberdayakan kemanusiaan.

Pak Dian dan Pak Mumu berencana mengumpulkan mereka di paviliun tempat pengajian. Suasana yang menegangkan ini  membuat sedikit terbuka untuk bicara langsung pada apa yang diinginkan oleh mereka. Tiba-tiba hati dan pikiran saya berseteru memikirkan hal-hal negatif tentang mereka.Apa mungkin dalam hal seperti ini nurani manusia tak bekerja? apa mungkin setan mengambil alih apa yang tersembunyi dalam diri manusia? banyak sekali pertanyaan yang menyudutkan mereka tanpa bukti.

Hembusan angin malam menggugurkan daun-daun dan memeluk erat tubuh ini. Pak Dian, Pak Mumu, Ani dan saya duduk berdekatan di ruangan para santri. Suara Tokek, jangkrik dan lantunan solawat dari anak-anak terdengar sempurna memeriahkan suasana. Sayangnya, keindahan yang terdengar apik tiba-tiba kabur dalam perasaan yang sedikit terganggu. Kepulan asap rokok meminta saya agar segera meninggalkan ruangan ini sementara seseorang yang kami maksud belum juga ada. Pak Mumu dan Pak Mudawan terlihat santai, tak peduli asap rokok semakin menyesakkan pernapasan. Beberapa kali ujung tali kerudung saya tarik menutupi muka, berharap kandungan asap rokok tak terlalu aktif bekerja.

Lutfi datang tiba-tiba mewakili orang-orang yang kami maksud. Dia menjadi perantara untuk menyampaikan apa ingin disampaikan oleh santri-santri yang sedang kami tunggu. Terlihat sekali dia adalah lelaki sederhana yang bisa mengolah emosi tidak seperti kami. Dari tutur kata dan perilakunya, Lutfi bahkan tidak membanggakan status dirinya sebagai santri.

“Mana nu laina? gewat yeuh emosi”. tanya pak Dian di sisa batang rokok yang disungkurkan ke asbak.

Emosi pak Dian tak terkendali walaupun Ani berusaha mengendalikannya. Kedua mata pak Mumu juga terlihat tajam menatap mereka berdua sementara sebatang rokok masih di tangannya. Lutfi  yang menundukkan kepala terus bicara mewakili isi hari para santri yang sedang kami tunggu itu. Hal itu membuat Pak Dian geram dan penasaran seperti apa tanggapan dari mereka yang sedang kami tunggu. Sementara waktu menunjukkan pukul 23:30 dan saya tak terbiasa tidur larut malam. Orang-orang yang kami tunggu akhirnya datang dan duduk tanpa suara.Wajahnya terlihat ketus sedikit menakutkan dengan rambut panjang yang digerainya.

“Ari maneh hayangna naon? sok ngomong. Pantes teu ari lalaki jiga kitu?”  tanya pak Dian dengan nada terbawa emosi.

Percakapan semakin menarik saat nereka bicara dengan lantang menyampaikan kebenaran dari apa yang diyakininya.Bahkan bisa saja kebenaran dari-Nya dan saya cukup buta untuk melihat kedalaman pemahaman mereka. Tapi kadang, seseorang yang sudah tahu banyak hal lebih memilih sembunyi dan pura-pura tidak tahu apa yang ia ketahui.

“Pantes teu pa, ayeuna aya lalaki asup ka ruangan istri? urang oge sanajan lalaki anu geus lila di ieu pondok tara wani asup ka ruangan istri?” tanya lelaki berambut gondrong itu lagi.

Di sela pertanyaan yang berani dia ungkapkan, dadanya bungkam ketika mengutarakan bahwa dirinya adalah seorang santri salafi. Sebutan itu membuat saya penasaran agar mencari tahu definisi dari santri salafi.

Santri salafi dan santri modern adalah dua ruang lingkup yang berbeda meski pun mereka sama-sama belajar agama. Mereka yang mengatakan dirinya sebagai santri salafi selalu di sibukan dengan membedah ilmu dari kitab kuning dan murni belajar agama. Sedangkan satri modern lebih di sibukan dengan belajar bahasa arab, bahasa inggris kemudian agama. Walaupun tak menutup kemungkinan kalau semua santri laki-laki di sini juga pintar menggunakan Bahasa Inggris.

“Pan si eta mah murid, lalaki hiji-hijina bari jeung di riung ku loba saksi di ruangana. Nya aya si Ibu Ai anu dianggap jadi kokolot di ieu tempat”

Satu pernyataan dari lelaki itu membuka ruang kepala saya untuk berhenti menerka-nerka. Hal-hal yang membuat saya penasaran kini saling di ungkapkan.

Kemarin sore, seorang anak SMA laki-laki dengan kedua teman perempuannya menemui saya untuk belajar menulis Esai. Kami diskusi di ruangan terbuka di mana setiap tamu berhak memasukinya.Hanya karena ruangan sangat besar dan dikerumuni perempuan, saya pikir sah-sah saja siapa pun boleh masuk asal tak sampai masuk ke dalam kamar.

Rupanya ini yang menjadi akar masalah di mata mereka sampai membuat kegaduhan yang menakutkan. Pak Dian dan lelaki itu terus bersilat lidah mencari siapa pemenangnya.Keduanya sama-sama kuat walaupun berdalih dari dua sudut pandang yang berbeda. Pak Dian juga benar dengan pandangan-pandangan yang dia sampaikan, bukanlah suatu masalah besar hanya karena seorang siswa dengan tujuan belajar kemudian dikaitkan dengan zina?. Memang perbuatan nista itu sama sekali tak terpikirkan oleh kami yang gila belajar menulis.  Argumentasi pak Dian tetaplah kebenaran bagi dirinya, tetapi bukan kebenaran bagi lelaki yang jadi lawan bicaranya.Dia berdalih mengatasnamakan agama.Sementara di tempat seperti ini, alasan dia membuat saya lebih condong memihak padanya.Hanya karena kondisi saat ini berada di pesantren, memang yang berlaku adalah aturan-aturan pesantren.Tak ada aturan-aturan umum yang demokratis selain mutlak berdasarkan Al-quran dan Hadist.Lelaki itu benar, di ruangan yang sudah di khususkan untuk perempuan, tidak seharusnya ada jejak laki-laki walaupun sekadar bertamu diikuti banyak saksi.

Lelaki bisa di analogikan dengan kebebasan, sesoleh apa pun mereka, mereka tidak bisa mengendalikan dirinya ketika melihat perempuan. Itu yang kerap telinga saya tangkap dari apa yang sebelumnya ditemui.

“Maaf nya bu, ibu didieu guru anyar.Posisi ibu nu janten istri, pantes henteu istri di lancingan? Ku sanajan nutup aurat, eta lancingan teh sami sareng nutup aurat tapi tataranjang”. satu pernyataan memojokan saya mengenai pakaian. Sekarang saya tahu kalau hal itu menjadi alasannya.

“Maneh kudu na ngarti, naon nu disebutkeun anyar, pan si ibu teh kakara nempatan ieu pamondokan. Jadi tangtu can bisa sakaligus jadi sarua. Rasul oge baheula dakwahna lalaunan, teu maksa, teu nyiksa”. jawab Pak Dian  mewakili beribu kata yang saya bungkam.

Saya tahu, kedua percakapan itu ditujukan kepada orang yang sama. Mata yang memaksa tidur kini terbuka lebar seolah bisa menahan lelah. Hati benar-benar terpukul mengingat pakaian yang selama ini saya kenakan.Walaupun hanya mengenakan celana dari bahan katun yang di anggap sopan, ternyata tak berlaku untuk mereka apalagi dengan suasana seperti ini. Saya sadar di pesantren mana pun rasanya memang diri saya yang salah, bukan mereka. Saya yang belum bisa menyesuaikan bahkan belum bisa mengenakan kerudung yang lebar.

Selama kurang lebih satu minggu ini rupanya mereka memperhatikan saya di pelataran pesantren. Seharusnya kegaduhan ini tertuju pada diri saya sendiri bukan melibatkan orang lain. Saya mengusap wajah kebas.Tak mudah untuk memperkenalkan siapa diri saya pada mereka dan apa yang akan saya berikan kepada mereka, bagaimana peran menghadapi persoalan-persoalan dari berbagai sudut pandang dengan latar belakang yang berbeda, di mana hal paling penting yang akan orang lain terima dari diri kita adalah persamaan bukan perbedaan. Persamaan akan lebih mudah diterima dan  menjadi musibah bagi perbedaan yang cenderung terjadi pertentangan.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Proudly powered by WordPress | Theme: Baskerville 2 by Anders Noren.

Up ↑