Dulu, seorang guru di SMP Negeri 2 Tasikmalaya pernah bilang kalau karakter guru harus sesuai dengan falsafah warna baju besi yang dikenakan. Warna biru dongker atau navy memiliki arti kecerdasan sedangkan abu membuat guru harus semakin bijaksana sesuai makna pada warna itu.
Saya memakai kembali baju yang sudah empat tahun dibiarkan. Setelah selesai praktik mengajar, tak ada satu garis pun yang membuatnya kusut. Mungkin begitulah mulianya seorang guru ketika seragam mencerminkan kepribadiannya. Walaupun, saya tidak ingin memiliki profesi sebagai guru karena menjadi guru sepertinya cukup jenuh dan nggak ada tantangan. Tapi entah kenapa hati ini tergerak begitu saja ketika menyimak wajah-wajah anak kecil selama bepergian. Mereka yang serba terbatas dengan fasilitas, mereka yang sekadar bisa baca A-I-U-E-O, nyaris mengingatkan saya pada mereka yang berlarian di Savana terbuka atau di atas Nirwana tanah Jawa, atau mereka yang sekadar bantu menjaring ikan bersama bapak atau mereka pula yang menghabiskan waktu dengan menggembala.
Pendidikan yang mereka pahami hanya sebatas menemukan sesuap nasi kemudian bekerja lagi.Itu yang saya temukan ketika terdampar di salah satu tempat di Pulau Jawa dan tanah Sumatra satu tahun lalu. Kebahagiaan mereka tak luruh meski hidup dengan fasilitas yang seadanya.
“Good Morning Mis, you look so beautiful”
“Nah nganggo rok mah Ibu katingalina geulis”. sapa lelaki yang berambut gondrong itu.
Dia cukup mahir menggunakan Bahasa Inggris walaupun sebatas mencairkan suasana semalam. Saya melintas di hadapan ia yang sedang menggergaji kayu entah untuk apa. Salamnya di balas kembali dengan senyuman saja. Tidak mudah bagi saya untuk beradaptasi lalu menerima orang-orang baru ke dalam hidup. Butuh waktu yang cukup lama untuk akhirnya mengenali mereka.
15 menit kemudian saya sampai ke sekolah dengan jalan kaki. Jarak dari pesantren ke sekolah cukup dekat tapi suasana pertama kali di desa ini begitu menyeramkan melintasi jalanan. Di antara rimbun pepohonan dan jalan yang penuh kerikil tajam dibuat bising kendaraan masuk ke dalam hutan. Sapaan warga sekitar tak kalah mengiringi ketukan langkah kaki dari sepatu hak tinggi. Alam bersorak riang seperti kasih-Nya melalui hangat sinar matahari mendukung saya mencari sesuatu yang tak tahu. Di tempat ini, saya kembali mengenal diri lebih jauh seiring merebahkan raga dari bepergian. Sebelumnya tak pernah terbayangkan kata hati membawa saya berlabuh ke tempat ini dan entah sampai kapan melakukan pengabdian.
Ada tiga kelas yang mencuri perhatian saya dan sepertinya sudah tidak digunakan lagi. Tapi dari balik jendela terlihat kepala anak-anak melihat kedatangan saya yang mungkin bagi mereka cukup asing. Perasaan saya pun kaget ketika salah satu guru menunjukkan ruang kelas delapan yang di luar dugaan yaitu dua bangunan vertikal menghadap ke arah utara bangunan-bangunan sempurna.Hanya dua bangunan itu saja yang mengurangi keindahan saya untuk memandangnya. Apakah anak-anak betah belajar di ruangan sana?
Di pukul 09:05 anak-anak loncat dari jendela dan lari entah ke mana tujuannya. Bukannya itu cukup pagi untuk bolos? untuk pertama kalinya saya dibuat heran dengan keadaan yang memprihatinkan. Yang tersisa di ruangan hanya anak-anak perempuan dan mereka tertarik belajar Bahasa Inggris. Mereka juga yang membuat saya bertahan terlihat dari tatapan yang meminta saya agar tetap di sini. Perasaan kesal seketika damai memandang teduh perangai mereka yang siap belajar.
Pukul 10:00 seorang anak laki-laki datang ke kelas. Wajahnya menyimpan sesal yang ia jatuhkan ke lantai. Ia duduk dan menyimpan tas lalu jadi bahan ejekan anak-anak perempuan. Dan saya tak membiarkannya begitu saja selain mengajak dia berbicara termasuk mencari tahu di mana tempat tinggalnya.
“Siti Maimunah?” saya menyebut nama secara acak untuk mengisi daftar hadir mereka. Ia pun mengangkat tangannya dan senyum tanpa suara. Hampir kebanyakan anak-anak yang saya temui di sekolah memang begitu, jarang sekali bersuara saat guru memanggil namanya untuk absensi mereka.
“Namamu bagus, tau enggak artinya apa?” pertanyaan saya lebih dalam mengajak mereka mengenal siapa dirinya. Ia menatap tajam dan terlihat malu-malu bilang tak tahu.
“Ada yang tahu arti namanya?” saya memberi kesempatan pada mereka tanpa memanggil siapa. Di sekolah sebelumnya, pernah ada anak didik yang tahu arti nama dia saat saya tanya.
“Nama kamu itu adalah mantera, nama kalian semua yang ada di ruangan ini adalah mantera yang bermakna. Siapa diri kalian saat ini adalah apa yang kalian bawa dalam makna nama itu”
“Kalau kalian tidak tahu arti nama kalian sendiri, bagaimana kalian bisa berarti untuk diri sendiri? siapa kalian saat ini dan menjadi apa nanti” penjelasan itu cukup membuka pandangan mereka.
“Nanti tanya ke bapak-ibu kalian ya, apa arti nama kalian”
Walaupun beberapa guru sudah pulang karena melihat kondisi yang berantakan tanpa anak-anak, saya memilih di sini sampai waktunya pulang. Hari semakin siang dan saya ingin segera pulang, rasanya aneh sekali kalau kelas hanya diisi beberapa siswa saja.
Satu di antara mereka datang lagi. Dia bernama Bunyamin, wajah nya kusut dan muram baru bangun di ruang belakang. Dia salah satu murid laki-laki yang cukup rajin dan sering dimanfaatkan begitu saja oleh teman lelakinya. Di samping tempat duduknya ada Muhammad Rizal, dia juga tak jadi memilih pergi. Dia yang selalu nampak murung di antara teman-temannya karena itu juga dia punya julukan si melankolis. Anak-anak di dalam kelas tertawa dan memutar seperempat leher mereka lalu Kedua bola mata tertuju pada siswa lelaki itu.
Rizal selalu menggeleng kepala tiap saya tanya ada masalah apa. Di akhir pertanyaan yang sedikit mengutarakan hiburan, dia baru bisa mengangkat kepalanya lalu tersenyum dan bicara pelan-pelan.
Di beberapa sesi perkenalan tak sedikit juga siswa yang menjengkelkan dengan celoteh kasar untuk teman-temannya. Saya kaget kenapa tak ada sopan santunnya terhadap guru yang ada di hadapan mereka. Walaupun saya enggak gila hormat, paling tidak mereka paham sedang berhadapan dengan orang yang lebih tua.
Hari-hari begitu memilukan menghadapi persoalan dan membuat saya ingin pulang.Seketika ingat teman-teman di kota bilang, kenapa saya begitu senang menyengsarakan diri dengan bepergian ke pedalaman. Ucapan-ucapan mereka nyaris sama seperti pertama kali saat mengomentari saya selama bekerja di kantor. Buat apa jadi pekerja kantoran? apa yang sebenarnya kamu cari? Kenapa uang selalu jadi orientasi segala pencapaian? Kata-kata itu selalu menjadi senjata yang melumpuhkan semangat saya untuk bekerja.
Anak-anak membuat gaduh karena bunyi bel tak beraturan. Mereka minta agar segera pulang atau diberi kebebasan bermain bola di lapangan. Sementara tas mereka selalu mengeruhkan suasana ketika sulit dilepas dari punggungnya.
Muhammad Fajar, anak laki-laki extrovert itu sering membuat geram dan ingin melampiaskan emosi. Pengaruhnya sangat kuat agar tak menghiraukan apa yang saya sampaikan apalagi mengenai pelajaran Bahasa Inggris. Dia berseru lantang bahwa memahami negeri sendiri juga sulit apalagi negeri orang lain. Buat apa belajar Bahasa Inggris?
Padahal menguasai Bahasa asing bukanlah perkara menyulitkan atau merugikan. Suatu hari anak-anak akan tumbuh dewasa dan dihadapkan pada dunia nyata. Manusia memang tak pernah tahu jalan hidupnya sendiri, tapi memiliki suatu cita-cita adalah antisipasi untuk menyelamatkan diri dari hidup yang keji.Kehidupan akan sulit memaafkan diri kita saat terjadi kecelakaan yang disebabkan diri kita sendiri. Orang-orang ketahuan korupsi, orang-orang sembunyi melakukan Zina, orang-orang menghalalkan cara atas kepentingan sendiri demi kedudukan dan jabatan, lantas siapa yang mencoreng nama baik mereka selain dirinya sendiri?
Anak-anak mulai paham dan kedua mata mereka fokus memperhatikan apa yang saya sampaikan. Muhammad fajar, Syahrul Sidik, Muhammad Irfan, Ragil, Nurani mereka kini terhubung pada kekuatan semesta yang terbesit dalam kata-kata. Lain lagi dengan anak perempuan, satu kelas yang cukup riuh tidak memandang mana laki-laki atau perempuan, anak perempuan masih bisa dikendalikan dengan sekali permintaan untuk diam. Mereka patuh dan antusias melihat apa yang saya sampaikan.
Leave a Reply