Suatu hari seseorang pernah bertanya “kamu tahu di mana Tuhan berada?” Dalam diriku, jawabku singkat. Dan ia tertawa lalu menyanggah tak setuju karena Tuhan baginya telah menempati langit ke tujuh yaitu Sidratul Muntaha. Polemik pencarian dan perwujudan Tuhan itu tidak berhenti pada satu paradigma yang dibawa satu orang saja. Di seluruh dunia bahkan orang-orang juga sedang mencari Tuhan dengan berbagai pendekatan termasuk pendekatan ilmiah. Seseorang yang berhasil merekapitulasi hasil pemikirannya tidak akan peduli lagi dengan Tuhan dan memilih menjadi seorang Ateis. Pertanyaannya, apakah seorang Ateis itu tidak memiliki keyakinan? Hanya karena tidak percaya Tuhan juga tidak memiliki apa yang ia percayai? Di sinilah saya sering mengajak teman-teman untuk berpikir lebih terbuka dan percaya bahwa hidup ini spektrum, ada rentang seluruh radiasi elektromagnetik yang menghasilkan warna dan cahaya di mana hidup tidak selalu hitam dan putih saja.
Mengenai keberadaan Tuhan dalam diri manusia nampaknya begitu tabu untuk diluruskan, tidak seperti persoalan seksual yang sudah lumrah ditanggapi siapa saja untuk menghilangkan ketabuannya dalam perspektif masyarakat. Laki-laki, perempuan, anak-anak hingga dewasa bahkan tidak perlu melakukan pendekatan Hermeneutika untuk menafsirkan bagaimana hubungan seksual bisa menumbuhkan cinta atau pelampiasan birahi belaka? Bicara tentang Tuhan adalah sama seperti bicara tentang sex dan al-quran, bahwa dalam beberapa hal tidak bisa self-referential yang mana akhirnya tidak menjadi self-evident. Apakah Tuhan dalam agama-agama monoteisme seperti Islam diasumsikan sebagai person atau sebagai subjek yang dilambangkan dengan zat dalam bahasa Arab yaitu Allah? Karena bentuk tunggal dari Tuhan sendiri lebih ramah jika dikatakan oleh kaum non muslim?
Mana yang kamu percayai dari sifat Tuhan seperti yang dikatakan Ulil Abshar Abdalla yaitu Al-Muntaqim maha penyiksa atau Tuhan dengan sekala azab itu tidak seimbang dan berlawanan dari sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang menjadi konsep utama Tuhan dalam Islam yaitu Bismillahirrahmanirrahim. Sampai kapan pun akan ada yang selalu menganggap dirinya paling benar ketika membicarakan sifat dan zat Tuhan sehingga pada akhirnya timbullah chaos saling mengebiri pikiran sendiri menjadi pribadi yang dikotomi.
Lalu bagaimana sifat-sifat Allah yang sesungguhnya jika ia tak memiliki bentuk, rupa, dan wajah? Pendekatan-pendekatan dengan Al-Qur’an saja menjadi kontradiksi antara ayat satu dengan yang lainnya. Implikasi surat Asy-Syuura ayat 11 jelas akan terjadi penolakan dengan surat Al-Baqarah ayat 115 yaitu.
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)
“Dan milik Allah timur dan barat. Kemana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha luas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115)
Di mana-mana kini telah timbul kontradiksi yang meninggalkan kesan bahwa tugas utama manusia hanya untuk mengeklaim antar ideologis dan keyakinan. Dan Asumsi-asumsi ini pada akhirnya hanya menjadi hipokrisi intelektual yang di rekayasa untuk mencari siapa yang paling benar, siapa yang layak mendapatkan surga dan siapa yang lebih dikasihani oleh Tuhannya.
Saya selalu mencari tahu contoh-contoh dari implikasi meniadakan diri yang disinggung para intelektual atau para ulama ketika membicarakan Tuhan. Ketiadaan seperti apa yang bisa menghadirkan Tuhan dan merasakan jelas sifat-sifatnya? Apakah harus membebaskan diri dari atribut keduniawian lalu menempati puncak kehampaan? Kalau begitu Tuhan tak jauh dari pada sifat-sifat udara yang menyeruak ketika saya menghirupnya, atau desiran darah yang panas dingin tergantung suhu tubuh mengolahnya? Bahwa Tuhan ada sesuai apa yang di “rasa”. Perasaan seperti menghilangkan ke-Akuan dan berupaya untuk semakin tidak terlihat dalam pandangan manusia adalah salah satu cara meniadakan diri.
Keberadaan Tuhan bukan hanya karena perwujudan alam semesta melainkan sebuah ketiadaan. Ialah intervensi antara manusia dengan sang pencipta ketika dunia bukan lagi apa-apa di mana puncak kekhusyuan seseorang dalam menghambakan diri adalah ketika tidak peduli lagi tentang siapa dirinya. Manusia yang sudah tidak peduli lagi akan kelebihan dan kekurangan dirinya selain dalam artian melenyapkan segala hakikat kemanusiaannya dari pada melebur pada sifat keillahian ‘manunggaling kawula gusti’.
Ketiadaan adalah jalan pintas menuju titik terang dan kebahagiaan paripurna. Di dalam gelap manusia bisa melihat apa yang orang lain tak lihat sebagaimana banyak hal bisa terdengar dalam senyap. Pada ketiadaanlah segala sesuatu akan nampak jelas ke mana arahnya.
Kalau ditanya di mana keberadaan Tuhan? Akupun akan menjawab ada di mana-mana. Termasuk ada di dalam tubuhku, jiwaku, mengalir di setiap darahku. Karena kita berasal dari zat-zat Tuhan dan akan kembali pada kesempurnaan Tuhan. Bagiku, Tuhan adalah Tuhan. Tidak seksis. Yang menciptakan semesta dengan sistem yang rapi, yang bahkan dapat bekerja dan berjalan sendiri tanpa campur tanganNya. Kalau apa saja sifat Tuhan, itu kan yang dianggap oleh manusia, Tuhan maha ini, maha itu, dosa, pahala, kasih, marah, itu semua adalah sifat Tuhan yang dipersepsikan oleh manusia. Sejatinya Tuhan dan Ketuhanan itu berbeda. Oleh karena itu, bagiku hubungan dengan Tuhan adalah hubungan vertikal, dan pribadi. Manusia dapat mempersepsikan Tuhan dalam bentuk dan sifat apapun, tapi secara spiritualitas, satu dan yang lainnya tidak akan pernah tahu. Karena vertikal tadi.
Thank you dek, your mind is constantly incredible. Love it ❤