Bersahaja Hingga Usia Senja, Amrizal Namaman: Buku Menjadi Terang dalam Kegelapan

Di usia berapa kiranya hidup menjadi bermakna seperti untaian kata-kata dalam sebuah buku? Buku yang terlihat membosankan seakan-akan hanya makanan kutu buku di ruang perpustakaan atau rumah dalam kesepian. Itu semua bertolak belakang dengan Voltaire, yang kita kenal dalam karyanya candied adanya satu mantera di mana membaca adalah memelihara jiwa dan teman yang tercerahkan memberinya penghiburan.

Namun buku adalah sihir yang merangkum mantera-mantera ketika yang ditinggalkan manusia bukan lagi sebatas harta benda. Untuk umat manusia, setiap peradaban kiranya mudah musnah begitu saja tanpa buku karena di dalamnya merangkum semua ilmu pengetahuan. Kalimat terakhir itu yang disampaikan oleh Pak Amrizal, salah satu pedagang buku di Palasari, Bandung.

Harga mahal kualitas buku kini pun saya tahu bukan dari laku jumlah buku yang sudah ditentukan oleh penerbit. Buku-buku menjadi mahal ketika tak ada satu pun pengetahuan yang dikemas dalam buku lainnya, bukan lagi persoalan gaya bahasa atau gaya tulisan namun apa yang membuat pembaca bisa berlarut-larut di dalamnya. Apa yang membuat si pembaca bisa mengubah dunia tanpa mengubah siapa jati dirinya.

Herannya, mengapa buku yang di tulis oleh William Shakespear atau J.K Rolling memiliki harga yang berbeda jika dibandingkan dengan buku yang diobral seperti rilisan anak-anak remaja di wattpad? Bukankah hal itu disebabkan oleh kualitas diri si penulis? Tak menutup kemungkinan William Shakespear menyampaikan perasaanya dalam romantika yang terkenal sepanjang masa itu, Romeo dan Julliet memiliki persamaan dengan karya abal-abal saya? Kemudian sajak-sajak Pablo Neruda yang banyak diadaptasi oleh para penyair-penyair pemula Indonesia. Setiap orang bisa melahirkan buku, namun hanya beberapa yang mampu memberi pengaruh terhadap pembentukan karakter si pembaca.

 

Ketertarikan saya terhadap buku dan kesadaran akan minat baca kini semakin jauh untuk ditelisik. Bukan lagi sebatas kepentingan diri sendiri melainkan adanya keterlibatan orang lain dalam memberi pandangan terhadap buku dan perubahan zaman. Apa yang telah ditinggalkan sebagian manusia kini terukir jelas di setiap relif toko-toko buku yang sekian tahun bertahan di Palasari.  Toko-toko tak didesain seperti Gramedia atau toko-toko buku insagramable seperti kafe kopi.

Melihat para penjual buku yang didominasi laki-laki dari pada perempuan kian menuan pertanyaan. Apakah mereka seorang pembaca? Apakah mereka bisa merekomendasikan buku apa yang layak dibaca berdasarkan usia? Dan apakah mereka juga menyadari apa yang didapatinya dari buku-buku itu?.

Awalnya saya dan Umi hanya bernostalgia ke pasar buku Palasai setelah tidak dikunjungi lagi selama lima tahun. Sepanjang jalan Buah batu yang akan sulit dilupakan karena hanya jalur utama yang dapat kami tempuh dari arah Gede Bage menuju Soekarno Hatta. Aroma buku menukik langit-langit kota Bandung begitu saya tiba di depan jajaran toko buku. Tepat di hari jumat yang mana sedikit sekali kaum adam terlintas di depan mata. 

Saya dan Umi tak langsung menjamah buku-buku yang tersusun rapi ini. Kami menghabiskan 30 menit beristirahat sambil menikmati Siomay khas Bandung dan minuman jus buah yang segar. Peluh yang mengalir deras dalam tubuh meluruh perlahan seiring matahari pulang ke peraduannya. Kami pun meneruskan perjalanan kembali yang mana tak lupa diiringi bidikan lensa kamera setiap momenya.

Bandung kini tak seperti dulu, hingarnya jalan Sukabumi, Pasopati hingga Palasari perlahan terurai sepi. Melerai kenangan setiap sudutnya kota ini menjadi biasa saja, tak berarti.

Di lorong ke sekian yang disesaki buku-buku, saya menghampiri seorang kakek tua yang duduk dengan tegak. Di atas kursi yang menghadap ke toko buku, beliau menatap saya penasaran dan saya pun demikian. Tanpa ragu dan malu lensa kamera pun kepadanya tertuju. Beliau mengagguk kemudian mengangkat satu jempol sebagai bahasa yang tak langsung diutarakan. But I know what does he mean. 

Saya langsung berkenalan sambil mencari buku yang diinginkan di tokonya. Buku-buku yang beliau jual memang tak selengkap seperti toko-toko yang lain namun kelihatannya kakek itu sangat nyaman.  Seorang kakek itu bernama Amrizal Namanan. Beliau bukan seorang pribumi di kota kembang ini melainkan perantau yang berasal dari Tanah Datar, Minangkabau. Sontak ke dua mata saya membuat hati kaget tak terduga. Melihat perangainya yang cerah dengan tatapan meneduhkan melabuhkan ingatan saya pada salah satu guru idola semasa SMA. Beliau juga berasal dari Minangkabau, memang orang-orang Minangkabau memiliki tekstur kulit dan perangai yang berbeda dari pada orang-orang Jawa atau Sunda. This is not about discrimination of racism. 

Asumsi tentangnya atau orang-orang Minangkabau tak mungkin datang begitu saja tanpa perjalanan panjang mengenal karya satra Indonesia. Adanya karya fenomenal seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka kemudian Taufiq Ismail sang Penjaga Taman Sastra jelas menunjukan betapa tingginya kualitas karya sastra Indonesia pada masanya.

Di hadapannya saya melihat jelas wajah Pak Amrizal begitu membuka masker. Tambahan kaca mata menjadi aksen identitasnya sebagai manusia yang sudah menempuh usia senja. Beliau tak segan membagikan kisah hidupnya dalam usaha termasuk membangun karir sebagai penjual buku di Palasari.

Berawal dari perjalanan usaha yang tidak mendapatkan hasil memuaskan, beliau akhirnya memutuskan pindah ke Bandung sejak 50 tahun yang lalu. Tak mudah menjadi orang asing terhadap buku-buku yang mana menghabiskan 6 bulan hingga 1 tahun belajar dari almarhum kakak laki-lakinya sebelum berjualan. Menjual buku memang tak seperti menjual kebutuhan yang sebelumnya ia tawarkan ke masyarakat seperti jam, kain, parfum, dan karpet. Dalam kisah merintisnya beliau menceritakan bagaimana sulitnya memahami pasar yang notabennya masyarakat tidak memiliki ketertarikan untuk membaca.

Tak ada penyesalan apa pun ketika hampir 10 tahun beliau menghabiskan setengah hidupnya dengan berjualan buku. Di sela-sela waktu berjualan beliau gunakan untuk membaca dan merekomendasikan bacaan ke beragam pengunjung mulai dari anak SD hingga orang-orang dewasa. Beliau juga tak menemukan kendala selama bepergian jauh sebab apa yang ada dalam buku telah menjadi mantera penguat jiwanya. Di usianya yang menuju seperempat abad, 74 tahun dapat melihat dalam gelapnya dunia yang dikabuti kerusuhan dan permusuhan.

Buku-buku telah menjadi lentera yang menerangi gelap dalam hatinya, karena buku diibaratkan seperti terang dalam kegelapan. Bayangkan, berapa jumlah buku yang beliau habiskan untuk menghidupkan jiwanya? Berapa radius cahaya yang semburat dalam terang wajahnya? dan berapa jumlah kata-kata yang beliau untai menjadi candaan berkualitas seperti itu?

Hiduplah dengan buku-buku, kalau bisa dijadikan pendidikan seumur hidup.-Amrizal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Proudly powered by WordPress | Theme: Baskerville 2 by Anders Noren.

Up ↑