01 Agustus 2019 saya memutuskan pindah dari Bandung dan melepas atribut sebagai pekerja kantoran. Restu orang tua pun memudahkan langkah niat baik ini untuk menyepi dan memungut ilmu dari para kyai. 01 Agustus 2019 menjadi pintu titik terang diri yang terkapar dari gelapnya labirin yang penuh tanya tentang siapa diri saya sebenarnya.
Hari itu, beberapa pakaian dan makanan dikemas dalam ransel ukuran 55 L. Tanpa berpikir panjang, seolah diri sedang dikendalikan mimpi-mimpi yang hampir terealisasi juga menghindari hiruk pikuk kehidupan di luar sana. Kedua kaki seperti memiliki mata dan tujuan ke mana saya akan meditasi sambil nyambi ilmu pengetahuan di luar pendidikan formal.
Terik matahari sangat gersang menyelimuti seorang diri tersapu debu kendaraan berlalu lalang. Mobil elep melaju di kemudi oleh supir yang antusias menanyakan banyak hal termasuk nama menuju pedalaman Tasikmalaya.
“Neng bade kamana?” tanya perempuan yang terlihat masih muda dan menularkan senyumannya. Saya menjawabnya singkat dan supir elep juga mendengarnya. Mereka berdua kaget karena melihat perempuan sedirian diri pergi ke tempat yang cukup jauh dari kota. Di satu sisi mereka antusias dengan tujuan lain dari pada mendengar kata sendirian saja, yaitu mengabdi sebagai pendidik di salah satu sekolah swasta desa sana.
Perempuan itu bernama Risma dan menggendong anak laki-laki berusia 5 tahun. Saya memanggilnya teteh agar terasa lebih dekat dengannya. Perangainya keibuan saat menyapih saya sepanjang jalan. Dia juga menawarkan penginapan ketika konfirmasi dari Ani belum saya dapatkan. Perasaan ini dibuat cemas oleh jarak dari kota ke desa dibentangkan hutan dan pohon karet. Banyak tanya yang muncul tiba-tiba, bagaimana jika rindu rumah dan seisinya? Dan apa yang membuat saya antusias mengasingkan diri sementara? Pertanyaan dari teman-teman pun tak kalah meramaikan gejolak hati dan pikiran untuk siapa yang lebih mendominasi keputusan ini.
Hidup memang lahan pengembaraan. Untuk mendapatkan ruh dari pengembaraan itu kita perlu menjadi terasing. Bukan berarti kita menyepi atau menjadi individu yang berkarya seorang diri, bukan berarti menjadi terasing dari teknologi atau perkembangan budaya. Sebagai manusia, menjadi terasing sudah ada dari alam indra sebelumnya yaitu Al-Ghuraba muslim atau muslimah yang asing, yaitu mereka yang tak terlena dari segala kehidupan fana tapi menikmati dunianya. Untuk mendapatkannya, kita hanya perlu menelisik lebih jauh ke dalam diri. Menjadi terasing bisa saja menjadi bagian dari eksistensialis manusia atas perenungan siapa dirinya.
Menunggu konfirmasi dari Ani ternyata lebih merisaukan dari pada menunggu lelaki yang didamba sejak lama. Sama seperti perempuan-perempuan lainnya, saya pernah merasakan bagaimana sakitnya berharap pada manusia mengatasnamakan penantian. Ehh kok jadi curhat. Hahaha boleh lah iklan dikit. Dengan menunggu saya selalu belajar memahami karakter orang dalam menepati janji karena terkadang apa yang orang lain ucapkan tak sesuai dengan kenyataan. Ada yang menepati janji demi menghargai dirinya atas apa yang mereka ucapkan sebelumnya, dan tak sedikit mereka tak menghiraukan apa yang keluar dari mulutnya. Dan kenapa sebagian orang mesti berat mempertanggungjawabkan janji mereka?
Perjalanan menuju Cikasungka menghanyutkan perasaan-perasaan asing ini. Meskipun ia tak memabukan seperti tahun-tahun sebelumnya, perasaan ini sudah kalah dari pikiran di mana ia lebih mendominasi tubuh ini. Sedih,cemas, kecewa, tak disadari mengikutsertakan wujudnya dalam perjalanan kali ini.
Perjalanan hidup manusia terkadang seperti buih yang ditelan ombak di lautan. Saya yang memandang dua garis berbeda bertemu dalam satu cakrawala, tak perlu tahu apakah langit dan laut itu menyatu atau hanya sekedar bayangan semu. Dan saya seperti panglima yang masih mempertahankan mahkota kerajaannya.Ya, kerajaan di dalam diri, sebuah hati yang layak dihormati oleh pemilik rumahnya sendiri atas segala tafsiran-tafsiran hidup yang indah ini. Siapa pun bisa menjadi panglima dalam hidup ini sebab kita yang memegang sepenuhnya segala kendali dalam diri dan tergantung ke mana kita akan mengarahkannya.
Pembicaraan Teh Risma dan supir elep terlihat asyik sampai mengelabui waktu. Tak terasa membawa diri tiba lebih dulu pada tempat yang dituju. Tapi tetap saja tak mudah menemukan Pesantren yang Ani maksud. Dan saya hampir lupa pada percakapan teh Risma saat dia menawarkan satu kamar kosong di rumahnya, sementara kebaikan dia memabukan pada setiap pandangan mengenai sikap manusia. Apalagi pendapat Ani yang mengatakan masyarakat Cikasungka begitu baik dan terbuka. Ani hampir tak pernah merasa kekurangan perihal makanan karena penduduk di desa sana tak segan menawari dia untuk makan. Dapur mereka selalu dipenuhi hasil berkebun dan bertani jadi sangat berutntung kalau seseorang ingin mencari makanan tradisional yang menyehatkan. Rumah penduduk di sana pun seringkali menjadi tempat singgah para santri ketika mereka ingin makan bersama atau numpang masak di dapur.
Membayangkan sikap mereka pun meleraikan segala kecamuk dalam diri tentang pengabdian ini. Bagaimana masyakarat di sana tak berbaik hati, sementara orang yang pertama kali saya temui terlihat antusias dan menjamu jauh sebelum tiba di tempat itu.
Leave a Reply